INDONESIA - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai masih terdapat unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pada peristiwa penembakan terhadap sesama anggota polisi di Polsek Cimanggis, Depok, Kamis (25/7) malam.
Direktur Eksekutif LBH Jakarta Arief Maulana menyebutkan hal tersebut berdasarkan pada latar belakang penembakan itu terjadi. Brigadir RT menembak Bripka Rachmat Effendi karena keponakannya yang berinisial FZ terlibat aksi tawuran dan hendak dilaporkan ke polsek.
Brigadir RT meminta Bripka Rachmat untuk melepaskannya. Namun, Rachmat menolak dan ingin tetap melaporkannya ke Polsek Cimanggis. Brigadir RT pun mengambil senjata api dan menembakkan peluru tujuh kali ke Bripka Rachmat hingga tewas.
Berdasarkan hal itu, Arief menilai, perbuatan Brigadir RT memanfaatkan jabatannya sebagai polisi supaya keponakannya tidak diproses hukum.
"Pertama ada persoalan kultur korupsi, kolusi, nepotisme, penyalahgunaan wewenang, mentang-mentang polisi ketika keluarganya ada problem hukum bisa lepas begitu saja," ujarnya saat diskusi Kepolisian Dalam Bingkai Media di LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Minggu (4/8).
Selain itu, kata Arief, penggunaan senjata api masih terbilang berbahaya untuk kalangan kepolisian.
"Kedua, penggunaan senjata api sangat berbahaya di lingkungan kepolisian hari ini," tuturnya.
Selain penembakan di Polsek Cimanggis, Arief pun mencontohkan penggunaan senjata api yang dinilainya tidak bertanggung jawab. Misalnya, kasus kerusuhan 21-22 Mei yang dinilainya belum jelas hingga saat ini.
Selain itu peristiwa penembakan kejahatan jalanan yang dilakukan kepolisian menjelang Asian Games 2018. Pasalnya, terdapat ribuan yang ditangkap dan belasan tewas akibat tembakan.
"Bukan hanya kasus ini kalau teman-teman mau menarik ke 21-22 (Mei) masih belum clear. Bisa kita tarik lagi di Asian games, dari investigasi LBH Jakarta dari ribuan orang ditangkap ada banyak yang salah tangkap, kurang lebih 15-20 diantaranya ditembak dan 15-nya meninggal," tuturnya.
Selain itu, kata Arief, psikologi polisi dalam menggunakan senjata api juga belum dapat dijamin. Dia mencontohkan, pada saat melakukan pendampingan terdapat seorang polisi yang menceritakan bagaimana dia menembak terduga pelaku tindak pidana.
Penembakan itu dilakukan untuk latihan dalam menghadapi kejahatan yang sesungguhnya.
"Ada kultur di mana ada pelaku tindak pidana kalau polisi lagi marah dia akan menembak. Dan di media ditulisnya pelaku melawan, itu yang akan diulang. Dengan bangga mereka bercerita kami punya kultur untuk eksekusi nembak supaya berani ketika berhadapan dengan penjahat beneran, itu yang terjadi," ucapnya.
Arief mengatakan aturan penggunaan senjata api telah diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009. Dalam aturan itu disebutkan jika polisi yang menggunakan senjata api harus melapor ke atasannya.
Sebelumnya, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Asep Adi Saputra mengatakan RT telah memenuhi syarat untuk memegang senjata. Berdasarkan informasi, kepemilikan senjata RT baru diperpanjang pada Mei lalu.
"Ini kan kasuistis kalau dia sudah memenuhi syarat memegang senpi berarti dia layak ya, tetapi dalam kasus ini mungkin ada kondisi-kondisi yang dia juga lepas kontrol," tuturnya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo mengatakan tindakan RT itu dipicu oleh emosi sesaat.
"Spontanitas, emosional bisa melakukan seperti itu (menembak tujuh kali) kalau tidak bisa mengendalikan (emosi)," kata dia.
Polisi juga sudah memeriksa kejiwaan Rangga setelah menetapkannya sebagai tersangka kasus pembunuhan.